Sabtu, 18 April 2009

BE A SMART VOTER, HARAPAN/ ANCAMAN?

PEMILU 2009 semakin dekat. Geliat politisi dan partai politik pun semakin kentara dan gencar. Upaya penanaman citra dengan tujuan merebut kursi menjadi program utama. Sayangnya, saat ini rakyat Indonesia khususnya Aceh terlampau muak dengan tingkah elit politik yang munafik. Akhirnya, sebagian rakyat lebih memilih menjadi by standers atau menjadi penonton yang pasif yang tak peduli akan nasib negeri sendiri.
Dari pemilu ke pemilu memang rakyat sudah sering ketipu. Banyak caleg (Calon Legislatif) yang menjanjikan perubahan yang lebih baik di masa depan, bermoto kejujuran dan berpengalaman, bertopeng ulama, dan bahkan menjual embel-embel agama. Namun buktinya, masih ada kinerja dan moralitas wakil rakyat di negeri ini menorehkan catatan buram yang mengecewakan.
Menurut analisa penulis, Be a Smart Voter (menjadi pemilih cerdas) di pemilu 2009 ini akan menjadi harapan sebagian Caleg sekaligus menjadi ancaman bagi sebagian Caleg lain. Tergantung bagaimana niat dan tujuan mereka, kapasitas intelektualnya, investasi sosial nya selama ini, dan platform perpolitikan nya.
Sehingga dapat kita lihat, ada sebagian caleg yang sengaja membentuk masyarakat menjadi pemilih yang irasional, fanatic/ ikut-ikutan, taklid buta pada partai atau lambang partai/ embel-embel agama, bertopeng ulama/ menjual ketokohan orang lain, dan membentuk pemilih menjadi materialistik musiman, mengintimidasi serta hal-hal lain dalam menciptakan pemilih irasional. Hal itu dilakukan bisa jadi karena ketakutan para caleg, ketika rakyat sudah cerdas dirinya tidak akan dipilih..
Para caleg yang membentuk pemilih menjadi irasional biasanya adalah Caleg-caleg politisi busuk, caleg yang berkapasitas intelektual rendah, belum pernah ada investasi sosial kepada masyarakat, kurang peka pada kepentingan sosial (indivitualistik), tidak memiliki platform politik yang jelas, caleg yang pernah dan ingin mengkorup kembali uang rakyat, Politisi Karbitan (instant), niat dan tujuan caleg yang masih salah kaprah, serta memanfaatkan pemilihnya hanya untuk kepentingan jangka pendek, setelah suara pemilih diraih, maka pemilih tidak akan diperdulikan lagi “ibarat kacang lupa dengan kulitnya”
Begitupula dengan Caleg yang mengharapkan adanya pemilih cerdas dan rasional dalam menentukan pilihan. Mereka memberikan pencerdasan politik kepada masyarakat, dan tidak adanya pengkultusan pada caleg-caleg tertentu yang harus dipilih. Pemilih diberikan kebebasan memilih dan menilai caleg-caleg yang lebih tepat.
Ada atau tidaknya sikap solidaritas sang Caleg, dapat tergambar dengan sejarah perjuangannya yang panjang dalam memperjuangkan hak-hak rakyat, melawan kebijakan pemerintah yang korup dan salah kaprah dan telah memberikan investasi sosial yang cukup membantu masyarakat sejak lama. Ambisi mereka masuk ke dalam parlemen bukan didasari untuk mencari kekayaan, tetapi niat tulusnya untuk melakukan perubahan dengan kapasitas intelektual yang dimiliki.
Menurut hemat saya, ada 7 tipologi Caleg di Pemilu 2009, Pertama Caleg yang dilatarbelakangi untuk merebut kekuasaan, agar bisa menentukan kebijakan demi kepentingan pribadi dan golongannya tanpa memikirkan kepentingan masyarakat banyak, Kedua ajang mencari popularitas/ ketenaran demi kepentingan tertentu, Ketiga Caleg yang masih menjadikan ajang pemilu ini untuk mencari pengalaman, Keempat, Ajang mencari lowongan pekerjaan yang mengharapkan gaji dan tunjangan semata tanpa ada dedikasi dan kemampuan intelektual untuk melakukan perubahan Kelima Caleg yang kebetulan direkrut/ dipaksa dan dibayar untuk memenangkan salah seorang Caleg dalam suatu partai, Keenam Caleg yang ikut-ikutan meramaikan rutinitas pemilu tanpa arah dan tujuan yang jelas, dan yang Ketujuh adalah Caleg yang punya kapasistas intelektual yang memadai, telah teruji dalam memberi bukti investasi sosial yang nyata kepada rakyat, dan berambisi untuk melakukan perubahan kearah yang lebih baik dilatarbelakangi oleh rasa jengkel melihat bobroknya moralitas wakil rakyat dari tahun ketahun, dan merupakan aktivis/ pejuang yang telah melewati perjuangan untuk membela rakyat dalam waktu yang sudah cukup lama diluar parlemen,
Mengenai kapasitas intelektual para Caleg, diskusi kecil pernah kami lakukan dengan sebagian caleg dari beberapa partai. Ternyata masih banyak diantara mereka belum mengerti apa fungsi, peran, dan kewajiban anggota Parlemen. Bila logika otak kiri kita masih berfungsi dengan baik, kita tentu akan berpikir bagaimana mereka bisa menjalankan tugas dengan baik dan profesional dalam memperjuangkan hak-hak rakyat, jika fungsi pokok sebagai anggota dewan seperti legislasi, budgeting, dan pengawasan tidak difahami dan dimengerti.
Bagi calon pemilih yang ingin mendapatkan kriteria Caleg-nya yang ideal, Guru Besar Filsafat UGM (Universitas Gajah Mada) Joko Pitoyo, menawarkan 5 kriteria caleg yang baik dan pantas dipilih. Satu, punya integritas moral, Dua punya pengetahuan yang memadai tentang ke-Indonesiaan, Tiga kecakapan, Empat penalaran dan pengetahuan umum yang luas, Lima kecakapan dan ketrampilan teknik legislatif.

Tugas Mahasiswa

Untuk mencapai kedewasaan politik dalam menciptakan Pemilih cerdas dan rasional, diperlukan pendidikan politik terhadap rakyat. Pendidikan politik ini tentu menjadi tanggung jawab besar bagi mahasiswa. Peran mahasiswa pada Middle Position menjadi penghubung antara masyarakat dengan pemerintah membuatnya jauh lebih dipercaya dibandingkan para birokrat,apalagi politisi yang namanya sedang hancur lebur.
Genderang kompetisi politik menuju pemilu 2009 telah ditabuh. 34 Parnas dan 6 Parlok akan melewati masa kampanye melelahkan sekitar 9 bulan, dimulai pada 12 Juli 2008 dan berakhir pada 9 April 2009.
Demonstrasi adalah salah satu bentuk dari sikap kritis mahasiswa atas ketimpangan-ketimpangan yang terjadi di negeri ini. Seringkali mahasiswa kecewa karena rakyat lebih cendrung memilih calon yang menurut mereka tak layak untuk menang. Sudah seharusnya mahasiswa bisa berperan lebih dalam upaya penyadaran politik kepada rakyat. Usaha itu dapat dilakukan dengan memberikan penerangan kepada masyarakat awam (yang merupakan kelas pemilih terbanyak dalam pemilu) tentang sepak terjang parpol dan tokoh-tokoh yang berlomba dalam perebutan kursi legislatif dan eksekutif. Bukan dalam artian sebagai jubir parpol atau calon tertentu, namun lebih kepada pemberian data objektif kepada masyarakat tentang keberadaan dan biografi kontestan, sehingga masyarakat bisa menyalurkan suaranya dengan tepat.

Semoga di momentum pemilu 2009 ini, gerakan mahasiswa dapat memberikan kontribusi yang lebih terhadap kemajuan bangsa. Dan tetap mampu memenunjukkan jati dirinya sebagi aktor yang selalu gelisah terhadap realitas sosial yang ada.

KAMPUS OTORITER

Kampus atau perguruan tinggi adalah tempat berkumpulnya para komunitas intelektual. Bagian dari komunitas yang berkecimpung didalam dunia pendidikan tinggi tersebut diantaranya adalah mahasiswa. Karena itu sudah sepatutnyalah jika interaksi sosial yang berlangsung di kampus senantiasa bernuansa ilmiah, kritis dan rasional.
Apa kata dunia, Jika dizaman sekarang ini saat demokrasi dijunjung tinggi ditengah-tengah masyarakat, dan kampus yang mestinya menjadi mercusuar dalam mengembangkan kehidupan demokrasi menjadi lembaga yang mempertontonkan praktik otoriter dan tiran?
Dikenal ada tiga tipologi kepemimpinan di perguruan tinggi. Pertama, Kepemimpinan kampus Otoriter, kepemimpinan kampus Apatis dan kepemimpinan kampus yang Demokratis. Berdasarkan tiga tipe kepemimpinan kampus ini kemudian mahasiswa dan manajemen kampus dapat menganalisa, masuk dalam kategori manakah kampus kita?
Kampus yang otoriter terlihat pada pengkultusan pimpinan kampus sebagai satu-satunya sumber kebenaran. Para dosen, staff dan mahasiswa tidak memiliki ruang yang cukup dan bahkan dikekang akses dan aspirasinya. Pengambilan keputusan dan kebijakan kampus tidak dikompromikan dengan mahasiswa sebagai bagian dari masyarakat kampus.
Para dosen dilingkungan kampus otoriter memandang lazim menghukum mahasiswa dengan memberi nilai buruk atau memberikan nilai baik tidak berdasarkan kemampuan dan kompetensi mahasiswa. Para dosen bebas memberi skorsing tanpa toleransi dan kemanusiaan. Mereka merasa pantas dan berkuasa sekehendaknya, mereka seperti dewa dan mahasiswa mau tidak mau harus patuh dan taat kepada mereka. Mahasiswa tidak diberi ruang gerak untuk sharing dan mengkritisi. Begitupun, bagian administrasi dan keuangan boleh mengusulkan besaran biaya kuliah, praktikum dan lain-lain kepada rektorat, dengan keputusan yang tidak perlu dirasionalisasi dan dikompromikan.
Beberapa kampus menuai masalah karena tindakan rektoratnya dan iklim lingkungan kampus yang otoriter sebagaimana yang terjadi di Makasar dan di Jakarta. Mahasiswa melakukan perlawanan menentang kebijakan kampus dan iklim yang tidak sehat dikampus mereka. Akibatnya kampus otoriter kehilangan kredibilitasnya.
Sementara itu kampus demokratis adalah sebaliknya. Kampus yang membuka ruang komunikasi dan penyaluran aspirasi bagi segenap civitas akademika secara sehat dan terbuka. Kampus yang memandang setiap pendapat dan aspirasi perlu didengar dan dipertimbangkan. Kampus yang para dosennya memandang mahasiswa sebagai mitra dan sparing patner (lawan tanding) yang sehat dan sportif dalam pengembangan wacana intelektual.
Kampus yang apatis adalah kampus yang hanya berkutat dengan target-target pencapaian kurikulum, tanpa memperhatikan aspek-aspek diluar akademis. Tidak progresiff pada upaya pengembangan nalar dan naluri sosialnya. Hal itu terlihat ketika tidak adanya dukungan kampus pada aktivitas-aktivitas sosial mahasiswa baik secara individual maupun organisasi. Mahasiswa hanya dituntut menjadi seorang Tukul (Tukang Kuliah) yang menafikan kepentingan sosial . Kampus juga tidak segan-segan menskorsing dan memberi hukuman pada mahasiswa secara sepihak tanpa dasar dan alasan yang tidak rasional kepada mahasiswa yang aktif dalam kegiatan sosial dan organisasi. Padahal kegiatan sosial dan organisasi akan meningkatkan kedewasaan berpikir, peka terhadap sesama, dan pengabdian mahasiswa kepada masyarakat.
Sangat disayangkan, bila praktik otoriter terjadi pada perguruan tinggi swasta, dimana mahasiswa merupakan penyangga utama dalam operasional kampus. Mereka membayar sejumlah rupiah agar proses belajar mengajar dikampus bisa berlangsung sebagaimana mestinya. Dalam konteks ini, mestinya kampus swasta lebih demokratis dengan segenap civitasnya agar kredibilitas perguruan tinggi itu senantiasa baik dalam pandangan mahasiswa dan masyarakat umum. Karena kampus yang baik adalah kampus yang bisa menjadi pelayan yang baik bagi mahasiswanya, bukan mahasiswa yang harus melayani kampus.
Beberapa kampus Universitas Muhammadiyah dipulau jawa seperti di Yokyakarta dan Malang dikenal sebagai kampus favorit. Kampus tersebut berlangsung secara sehat, kredible dan demokratis. Kebijakan mengenai operasional kampus dikomunikasikan secara baik kepada mahasiswa dan orangtua wali. Ruang aspirasi, dinamika dan kreatifitas mahasiswa dapat berlangsung secara baik dan terbuka.

Harapan

Adanya niat baik pihak kampus maupun dosen untuk membuka ruang demokrasi dan mengurangi sikap indivitualis, otoriter, dan men-dewakan kepemimpinan kampus akan menjadi suatu langkah maju untuk perubahan kampus menjadi lebih baik. Keterbukaan dan komunikasi secara sehat, menyatukan setiap perbedaan sebagai suatu kekuatan dalam membangun kearah yang lebih baik, bukan malah menjadi suatu bumerang kehancuran.
Sebagai media transfer dan pengembang ilmu pengetahuan bagi para mahasiswa sepantasnya lingkungan kampus tidak terinfiltrasi kepentingan-kepentingan politik. Kampus harus independen dalam menyikapi permasalahan politik praktis. Lembaga pendidikan tinggi dimaksudkan agar tidak dimanfaatkan oleh sekelompok orang untuk menjadi kendaraan politik yang mengakibatkan terbangunnya perpecahan dan pengelompokan kekuatan di dalam kampus yang pada akhirnya akan mengakibatkan berantakannya penyelenggaraan pendidikan dan pengembangan pengetahuan. Namun demikian tidak berarti bahwa komunitas kampus menjadi A-politis (tidak peduli pada politik).
Berlandaskan pada pandangan dan argumentasi diatas tadi kita dapat menempatkan kampus kita dalam salah satu diantara tiga tipologi tadi. Kita tentu berharap kampus STIT Muhammadyah Aceh Barat Daya menjadi lebih baik dimasa depan. Menjadi kampus yang sehat bagi pengembangan ilmu pengetahuan dan melahirkan kader bangsa yang berkualitas. Akan tetapi, terkadang hal-hal yang baik tidak muncul dengan sendirinya seperti datangnya sebuah hadiah dari langit, mungkin diperlukan kerja keras dan perjuangan yang sungguh-sungguh.
Billahi fi sabililhaq, Fasthabiqul khairat

(Penulis adalah Ketua Umum PD. IPM Aceh Barat Daya, Ketua PK. IMM TEN-TMA, Ketua Umum Aktivis KOMA PTM Aceh Barat Daya , Reporter Search For Common Ground/ SFCG)